Sabtu, 14 Juni 2014

JUMLAH CALEG DPR DARI 12 PARTAI

Negeri ini kembali mengkandaskan ratusan ribu calon legislatif. Lewat pemilu legislatif yang memakan biaya belasan trilun rupiah (total Rp 16,1 triliun untuk tiga kali pemungutan suara), saat     ini bertebaran banyak caleg gagal dalam beragam kondisi. Ada yang pasrah, ada yang kecewa, ada yang melawan, ada yang stres, ada juga yang sakit jiwa.
Inilah salah satu dampak sistem pemilu semi-proporsional yang disepakati oleh para politisi Senayan. Gejolak dan riaknya terjadi di semua tingkatan daerah dan pada hampir semua lapisan masyarakat.
Berapa sebenarnya jumlah caleg yang gagal?
Sejujurnya, sulit mendapatkan angka pasti berapa orang yang terlibat dalam kontes menuju kursi legislatif. Beberapa media hanya menyebut angka ‘kurang lebih 200 ribu’ caleg seperti disebutkan oleh pelaksana pemilu. Berapa jumlah pastinya, nyaris tidak ada orang yang tahu.
Saya berulang kali mencari angka pasti total caleg di semua tingkatan pemilu untuk 532 lembaga legislatif se-Indonesia (terdiri atas 1 lembaga DPR, 1 DPD, 34 DPRD Provinsi, dan 497 DPRD Kab/Kota). Tapi tidak ada satu pun yang mempunyai data lengkap.
Yang paling banyak dimuat media adalah data untuk jumlah caleg DPR dan DPD. Harap maklum, semua media nasional berkumpul di ibukota, kecualiJawa Pos, sehingga tidak ada yang memiliki basis data di daerah. Untuk lembaga legislatif tingkat nasional, terdata ada 6.608 caleg yang bertarung di DPR RI dan 945 caleg DPD RI.
Lativa, salah seorang pengelola jariungu.com, juga mengaku kesulitan mengumpulkan data semua caleg untuk dimuat di websitenya. “Harus satu per satu dikumpulkan mas ke masing-masing KPU daerah,” akunya saat menjelaskan bagaimana timnya menyusun data caleg sebagai bagian dari edukasi pemilih jelang Pemilu 2014.
Jadi, untuk menebak berapa orang caleg yang gagal alias tidak terpilih juga tidak mudah didapat angkanya.
Tapi saya mencoba membuat sebuah kalkulasi jumlah caleg yang ikut berkompetisi dan jumlah caleg yang kalah dalam kompetisi 9 April lalu. Dengan berpatokan pada kisaran 200 ribu caleg seperti disebut ketua KPU Husni Kamil Manik kepada media.
DPR RI
Untuk tingkat DPR RI, terdapat 6.608 caleg dari 12 partai nasional yang memperebutkan 560 kursi  di 77 Daerah Pemilihan seluruh Indonesia. Di setiap Dapil, tersedia 3-10 kursi yang diperebutkan.
Jadi, total caleg yang gagal bermukim di Senayan sebanyak 6.048 orang.
DPD RI
Di tingkat DPD, terdapat 945 caleg individual yang memperebutkan 132 kursi  di 33 Daerah Pemilihan seluruh Indonesia. Untuk DPD, hitungan kursi di setiap dapil lebih praktis, karena masing-masing mendapatkan 4 kursi.
Jadi, total caleg yang gagal menjadi Wakil Daerah di DPD RI sebanyak 813 orang.
DPRD Provinsi
Untuk tingkat DPRD I atau DPRD Provinsi, pemilu diadakan di 259 Daerah Pemilihan, memperebutkan 2.112 kursi di 33 lembaga DPRD I. Jumlah wakil rakyat di setiap lembaga bervariasi, ada yang berisi 35 kursi, ada yang sampai 100 kursi. Jumlah kursi per Dapil yang tersedia berkisar antara 3 sampai 12 kursi.
Dengan asumsi setiap partai nasional mengirimkan 7 orang caleg di setiap dapil, maka jumlah caleg yang bertarung sebanyak 21.756. Partai lokal Aceh tidak saya masukkan, karena sebaran calegnya hanya ada di Dapil Aceh.
Jadi, total caleg yang gagal menjadi Wakil Daerah di DPRD I sebanyak 19.644 orang.
Sebenarnya, saat ini Indonesia memiliki 34 provinsi. Tapi berhubung provinsi Kalimantan Utara (Kaltara) sebagai provinsi paling muda masih baru, pelaksanaan pemilu dan hasilnya masih dilakukan di provinsi induknya, Kalimantan Timur (Kaltim).
DPRD Kab/Kota
Lalu untuk DPRD II atau tingkat Kabupaten/Kota, pemilu diadakan di 2.102 Daerah Pemilihan, memperebutkan 16.895 kursi di 497 lembaga DPRD II. Jumlah wakil rakyat di setiap lembaga bervariasi, ada yang berisi 20 kursi, ada yang sampai 50 kursi. Jumlah kursi per Dapil yang tersedia berkisar antara 3 sampai 12 kursi.
Dengan asumsi setiap partai nasional mengirimkan 7 orang caleg di setiap dapil, maka jumlah caleg yang bertarung sebanyak 176.568. Partai lokal Aceh tidak saya masukkan, karena sebaran calegnya hanya ada di Dapil Aceh.
Jadi, total caleg yang gagal menjadi Wakil Daerah di DPRD I sebanyak159.673 orang.
Banyak banget bukan??!
Kalau dijumlah total semua, maka ada 186.178 caleg gagal yang saat ini sedang pasrah, geram, kecewa, bersiap mengajukan gugatan, masih terus berjuang mendapatkan keadilan, stres atau bahkan menjadi penghuni rumah sakit jiwa.
Oleh karena itu, jangan heran kalau kamu akan bertemu atau mendengarkan obrolan soal mereka. Dan mereka boleh jadi bukan orang lain atau orang jauh, melainkan orang dekat yang tinggal di satu areal atau kawasan.

Selanjutnya, rakyat Indonesia punya pilihan, mau terus memproduksi ratusan ribu caleg gagal setiap 5 tahun, atau mengubah sistem pemilu yang menakutkan ini.
readmore »»  

JUMLAH KURSI YANG DIPEREBUTKAN DI DPR

Proses demokrasi di Indonesiaselalu berlangsung semarak terutama saat Pemilihan Umum. Salahsatu buktinya terlihat dari banyaknya jumlah caleg dan kursi yang diperebutkan dalam Pemilu 2014.

Ada tiga tingkatan pemilu legislatif yaitu DPR RI, DPRD Provinsi, DPRD Kabupaten Kota dan Dewan Perwakilan Daerah (DPD). Secara rinci, jumlah daerah pemilih di tingkat pusat DPR RI ada sebanyak 77 dapil dengan 560 kursi.

DPD terdiri dari 33 dapil dengan jumlah kursi yang diperebutkan 132 kursi. DPRD provinsi ada 259 dapil dengan 2.112 kursi. Lalu terbanyak adalah DPRD Kabupaten Kota 2.102 dapil dengan 16.895 kursi.

"Maka yang diperebutkan (secara nasional) adalah 19.699 unit kursi di 2.471 daerah pemilihan," kata ketua KPU Husni Kamil Manik dalam pemaparan rapat dengan TNI, Polri dan Kementerian di kantor KPU, Jalan ImamBonjol,Jakpus,Kamis (9/1/2013).

"Jumlah calon (secara nasional) lebih kurang 200 ribu orang," imbuhnya.
Husni menyatakan, hal itu perlu diantisipasi baik oleh Polri dan TNI maupun kementerian untuk mensukseskan Pemilu. Husni lalu menyinggung juga soal akibat dari Pileg, terutama bagi caleg yang gagal.


Referensi :
readmore »»  

Alamat DPP dari 12 Partai peserta Pemilu 2014.

1. PARTAI NASDEM
Alamat DPP : Jl. RP. Soeroso No. 44, Gondangdia Lama, Jakarta 10350.

2. PARTAI KEBANGKITAN BANGSA (PKB).
Alamat DPP : Jl. Raden Saleh No. 9, Jakarta Pusat 10350.

3. PARTAI KEADILAN SEJAHTERA (PKS).
Alamat DPP : Jl. TB. Simatupang Nomor 82, Pasar Minggu, Jakarta 21520.

4. PARTAI DEMOKRASI INDONESIA PERJUANGAN (PDIP).
Alamat DPP : Jl. Lenteng Agung No. 99 Jakarta Selatan 12610.

5. PARTAI GOLONGAN KARYA (GOLKAR).
Alamat DPP : Jl. Anggrek Nelly Murni, Jakarta 11480.

6. PARTAI GERAKAN INDONESIA RAYA (GERINDRA).
Alamat DPP : Jalan Harsono RM No. 54 Ragunan, Pasar Minggu, Jakarta.

7. PARTAI DEMOKRAT.
Alamat DPP : Jl. Kramat Raya No. 146, Jakarta Pusat, Jakarta 10450.

8. PARTAI AMANAT NASIONAL (PAN).
Alamat DPP : Jl. Warung Buncit Raya No. 17, Jakarta Selatan.

9. PARTAI PERSATUAN PEMBANGUNAN (PPP).
Alamat DPP : Jalan Diponegoro No. 60, Jakarta 10310.

10. PARTAI HATI NURANI RAKYAT (HANURA).
Alamat DPP : Jalan Imam Bonjol No. 4, Menteng, Jakarta Pusat, 100330.

11. PARTAI BULAN BINTANG (PBB).
Alamat DPP : Jl. Raya Pasar Minggu KM. 18 No. 1B, Jakarta Selatan.

12. PARTAI KEADILAN DAN PERSATUAN INDONESIA (PKPI).
Alamat DPP : Jl. Pangeran Antasari Nomor 68, Cipete Utara, Jakarta 12150.


Referensi :
http://sistempemerintahan-indonesia.blogspot.com/2013/04/profil-lengkap-partai-politik-peserta.html
readmore »»  

ANGGOTA DPR & DPRD 1 YANG TERPILIH DAN JUMLAH CALEG PEREMPUANNYA

I. Jumlah caleg DPR RI yang terpilih pada pemilu legislatif 2014, yang memperebutkan total 560 kursi :

Caleg Laki - Laki : 463 Orang
Caleg Perempuan : 97 Orang

Persoalan politik perempuanIndonesia. Wacana keterlibatan perempuan dalam politik perlu serius kita angkat. Apalagi selama ini ternyata kuota perempuan 30% untuk anggota legislatif tidak tercapai.
            Persoalannya, menghadapi Pemilu 2014, bagaimana kita harus menyikapi hal tadi? Sebab, hal itu seharusnya bisa digunakan sebagai starting point dan media bagi perempuan untuk memberdayakan dirinya dalam bidang politik. Ataukah para perempuan perlu memikirkan media dan alternatif lain untuk memberdayakan dirinya dalam bidang politik, selain melalui kuota 30%?
Dalam sejarah perpolitikan di Indonesia dan negara berkembang umumnya, perempuan memang dipandang terlambat terlibat di dunia politik. Stigma-stigma bahwa perempuan senantiasa dalam posisi domestik, dianggap sebagai salah satu hal yang mengakibatkan perempuan terlambat berkiprah di dunia politik. Padahal potensi modal politik kaum perempuan (termasuk di Indonesia) untuk melibatkan diri dalam dunia politik adalah besar.
Menurut Biro Pusat Statistik, jumlah perempuan Indonesia adalah sebanyak 101.628.816 orang (51%) dari jumlah penduduk Indonesia. Ironisnya, jumlah perempuan yang ada pada posisi-posisi strategis untuk pengambilan keputusan amat minim. Pada setiap pemilu, jumlah perempuan yang terpilih berkisar antara 8% hingga 11%. Pendaftaran pencalonan dari masing-masing kekuatan politik bisa mencerminkan lebih dari 11% caleg perempuan, namun kenyataannya yang terpilih tidak lebih dari itu.
Dengan kondisi itu bisa dimengerti bila keputusan-keputusan yang dibuat sangat maskulin dan kurang berperspektif gender. Perempuan tidak banyak terlibat dalam proses pembuatan keputusan. Perempuan lebih banyak sebagai “penikmat” keputusan. Padahal keputusan yang dihasilkan sering sangat bias gender, tidak memperhatikan kepentingan kaum perempuan, tidak membuat perempuan kian berkembang. Sebaliknya, lebih banyak membuat perempuan menenggelamkan diri pada sektor-sektor yang amat tidak strategis. Dalam jangka panjang, ini mengakibatkan posisi perempuan selalu berada pada posisi marjinal.
Salah satu argumen kaum feminis tentang minimnya jumlah perempuan yang terlibat dalam urusan politik ialah karena kendala struktural. Di antaranya berupa kebijakan dan regulasi pemerintah yang tidak memberi kesempatan kepada perempuan untuk aktif di ranah publik. Kendala struktural itu kemudian coba diatasi dengan menetapkan kuota perempuan dalam UU tentang Pemilu. Salah satu pasalnya menyebutkan, “Setiap partai politik dapat mengajukan calon anggota DPR dan DPRD dengan memperhatikan keterwakilan perempuan sekurang-kurangnya 30%”. Aturan ini bisa dipahami sebagai upaya untuk menghapus kendala struktural yang mungkin membelenggu perempuan.
Dengan amanat pasal itu, ada semacam kewajiban bagi setiap parpol untuk menempatkan perempuan sebagai caleg. Setiap ada 3 nama yang diusulkan sebagai caleg, satu di antaranya harus perempuan. Dengan cara ini, diharapkan minimalsepertiga jumlah anggota DPR/DPRD yang terpilih adalah perempuan. Dengan begitu kebijakan-kebijakan yang dihasilkan, baik di pusat maupun daerah, akan lebih berpihak kepada kaum perempuan yang karena sifat dan kodratnya memang membutuhan perlakuan khusus.
Sayangnya, belajar dari sejarah, dalam proses pencalonan anggota legislatif untuk pemilu, banyak parpol yang tidak mampu memenuhi jumlah minimal caleg perempuan. Sebagai pelajaran ke depan, tentu kita harus melacaknya dengan cermat, mengapa itu terjadi? Faktor struktural jelas tidak bisa dijadikan “kambing hitam”, sebab sudah ada amanat salah satu pasal dalam UU tentang Pemilu. Yang bisa dijadikan “kambing hitam” hanyalah abu-abunya ketentuan pasal tadi, dalam arti tidak bersifat imperatif dan tidak disertai sanksi bagi parpol yang tidak menaatinya.
Faktor lain yang kemudian dijadikan argumen ialah faktor kultural. Selama ini, dunia politik dikonstruksikan secara keliru, yaitu sebagai arena adu kekuatan, tipu muslihat, perebutan kekuasaan, penyalahgunaan kekuasaan, dan segala bentuk citra negatif lainnya. Dunia demikian memang menjadi asing bagi perempuan yang cenderung mengutamakan kehalusan, ketulusan, kedamaian dan ketentraman hidup. Banyak perempuan berpandangan, panggung politik bukanlah wilayah yang pantas dimasuki dan sebisa mungkin harus dihindari. Politik acap dianggap sebagai arena bermain bagi laki-laki untuk menempa eksistensi dan jati diri. Memang bagi kebanyakan orang (laki-laki), politik sebagai profesi adalah sesuatu yang amat menggairahkan. Tapi tidak demikian bagi para perempuan.
Faktor lainnya yang dapat digunakan untuk menjelaskan minimnya caleg perempuan ialah faktor intern parpol. Parpol belum siap mengajukan caleg perempuan yang kualified dan potensial. Sebab selama ini ada tradisi dalam struktur organisasi apapun untuk menempatkan perempuan cuma dalam bidang-bidang yang mengurusi bidang keperempuanan, seperti bendahara, bidang/urusan wanita, urusan sosial dan semacamnya, bukan pada posisi-posisi strategis.
Kondisi ini yang kemudian mendorong suatu parpol untuk mengajukan caleg perempuan “impor” atau “siluman”, yang bukan kader parpol bersangkutan dan sama sekali belum dikenal kader-kader parpol. Sementara mereka yang sudah lama mengabdi dan menjadi kader parpol, sama sekali tidak dilirik bahkan diabaikan. Inilah yang kemudian menuai protes agar caleg perempuan itu dibatalkan, seperti kasus yang pernah terjadi di DPD PDI-P DI Yogyakarta.
Itu ditambah faktor jual beli nomor urut daftar pencalonan. Bagi caleg perempuan potensial, faktor ini bisa jadi turut menentukan proses pencalonannya. Jika dia tidak mampu menyediakan sejumlah dana untuk posisi nomor pencalonannya, lebih-lebih untuk “nomor peci”, sudah bisa dipastikan tidak akan diajukan sebagai caleg.
Mencermati realita politik di atas, para aktivis perempuan sebaiknya memandang kuota 30% perempuan dalam parlemen sebagai suatu proses pendidikan politik. Dan ke depan, khususnya untuk menghadapi Pemilu 2014, rencana dan program perlu lebih diarahkan untuk melakukan pendidikan politik, baik kepada parpol, caleg maupun pemilih, terutama pemilih perempuan.
Pendidikan politik ini tidak cuma bertalian dengan hal-hal teknis dalam proses pemilu seperti memberikan informasi kepada pemilih, siapa yang berhak memilih, mekanisme pemilihan, tempat, tanggal dan waktu pemilihan, dan syarat-syarat registrasi. Namun juga bertalian dengan pengetahuan dasar atau filsafat di balik hakikat pemilu, di antaranya apa itu pemilu dan mengapa pemilu diadakan. Harus pula dijelaskan, pemilu memiliki implikasi terhadap kualitas penyelenggaraan negara dan terciptanya good governance di masa depan. Yang diharapkan dari itu ialah munculnya kesadaran dan motivasi pemilih untuk berpartisipasi penuh dalam proses pemilu.
Dalam pendidikan politik itu juga perlu dijelaskan bagaimana menentukan pilihan parpol dan wakil legislatif. Dalam proses ini perlu ada gambaran jelas tentang profil parpol dan anggota legislatif yang diajukan parpol. Harus ada track record orang yang akan dipilih, terutama yang bertalian dengan persoalan korupsi dan keberpihakan kepada rakyat. Di sini perlu ditekankan agar dalam memilih dapat menggunakan pertimbangan rasional. Harus ada pertimbangan matang, mengapa memilih parpol ini atau itu, mengapa memilih si A atau B sebagai caleg, termasuk dalam memilih caleg perempuan. Jangan karena alasan agar kuota 30% perempuan terpenuhi, kita asal memilih caleg perempuan.
Agar pemilih lebih kritis, dalam proses pendidikan politik itu ada 3 tahap yang mesti dilakukan: (1) Tahap kodifikasi. Yaitu tahap menghadirkan fakta sosial ke dalam arena pendidikan politik, misalnya mempertanyakan apa fakta sosial atau persoalan krusial yang sedang dihadapi bangsa Indonesia saat ini. (2) Tahap dekodifikasi. Yaitu tahap analisis atas persoalan atau fakta sosial, yakni mempertanyakan mengapa persoalan itu muncul. (3) Tahap praksis atau pemecahan masalah. Yaitu mempertanyakan bagaimana persoalan itu dapat dipecahkan dan bagaimana fungsi pemilu dalam upaya pemecahan masalah itu.
Dari semua itu, yang terpenting, proses pendidikan politik tersebut harus sensitif gender. Dengan strategi demikianlah kaum perempuan di Indonesia akan bisa menghadapi pemilu secara matang, terutama di Pemilu 2014. Semoga ini menjadi kesadaran bagi kaum perempuan.

Referensi :
readmore »»