Samarinda - Minimnya pasokan bahan bakar minyak (BBM) ke wilayah perbatasan
Indonesia - Malaysia di Kalimantan Timur, membuat warga setempat
terpaksa menggunakan BBM dari negeri jiran.
"Tidak bisa
dipungkiri, banyak produk negeri tetangga (Malaysia) termasuk BBM yang
secara bebas diperjualbelikan di Kabupaten Nunukan, terlebih di Pulau
Sebatik dan Krayan yang berbatasan langsung dengan Malaysia," ungkap
Kepala Sub Bagian Humas dan Protokol Sekretariat Kabupaten Nunukan,
Hasan Basri.
Membanjirnya produk Malaysia di wilayah perbatasan
tak lepas dari kondisi geografis kedua negara yang langsung berhubungan
darat serta banyaknya `jalur tikus` yang menyebabkan mudahnya masuk
berbagai barang ilegal menuju ke Indonesia.
Perbatasan
Indonesia-Malaysia di Kalimantan Timur panjangnya 1.038 kilometer,
sementara luas wilayah perbatasan adalah 57.731,64 kilometer persegi
atau 23,54 persen dari luas provinsi Kalimantan Timur. Di area ini ada
15 kecamatan.
"Kondisi geografis wilayah perbatasan yang sebagian
besar masih sulit dijangkau melalui darat bahkan ada pula yang hanya
bisa dijangkau melalui udara menjadi penyebab mudahnya masuk
barang-barang ilegal ke wilayah Indonesia," kata Hasan Basri sembari
menunjuk serbuan produk-produk Malaysia ke daerahnya.
Demi
menunjukkan rasa nasionalisme, pada Hari Ulang Tahun Kemerdekaan
Republik Indonesia ke-66 tahun lalu, warga di perbatasan membentangkan
bendera Merah Putih sepanjang tiga kilometer, di Desa Simanggaris,
Kabupaten Nunukan, Kalimantan Timur, yang berbatasan langsung dengan
negara bagian Sabah, Malaysia.
"Cara ini sebagai upaya
memperlihatkan kepada seluruh masyarakat Indonesia bahwa nasionalisme
warga di perbatasan masih kokoh," kata Hasan Basri.
Seorang warga
Nunukan, Dahlan mengakui, bukan hanya BBM tetapi juga berbagai makanan
dan kebutuhan pokok banyak diperjualbelikan di wilayah perbatasan.
"Jangankan
di Pulau Sebatik, di ibukota Kabupaten Nunukan bahkan hingga Kota
Tarakan, banyak produk Malaysia bebas dijual. Bahkan, pakaian, sepatu
dan berbagai jenis aksesoris juga membanjiri Nunukan," kata Dahlan.
Lebih dari itu kualitas produk Malaysia memang jauh lebih baik dari produk negeri sendiri.
"Gula
dari Malaysia jauh lebih putih dan harganya hanya Rp9.000 per kilo
dibanding gula Indonesia yang berwarna kekuning-kuningan dengan harga
lebih Rp10 ribu," kata Dahlan.
Terbiasa
Begitu
pula elpiji, warga Nunukan lebih memilih buatan Malaysia karena isinya
lebih padat, sementara kualitas tabung jauh lebih tebal sehingga sangat
aman digunakan dibanding tabung gas ukuran tiga kilo buatan lokal.
Dahlan mengatakan adalah tidak sulit mencari produk negara tetangga di Nunukan.
Warga
lainnya, Fahrulrozy mengaku lebih memilih menggunakan bensin dari
Malaysia daripada harus mengantri di Agen Premium Minyak Solar yang
hanya ada tiga di Nunukan.
"Itu pun sering kehabisan stok.
Daripada harus mengantri, saya lebih memilih membeli bensin dari
Malaysia yang banyak dijual secara eceran. Harganya sepuluh hingga
limabelas ribu rupiah per botol, namun kualitasnya jauh lebih baik,"
katanya.
Jika dicelupkan di tangan, bensin dari Malaysia langsung kering.
Ada
tiga jenis bensin Malaysia yang dijual di Nunukan yakni ada yang
berwarna biru, hijau dan kuning. "Persis sama dengan warna bensin kita.
Bahkan, sebagain besar warga Pulau Sebatik menggunakan bensin dari
Malaysia karena pasokan BBM dari Indonesia sendiri sangat minim," ungkap
Fahrulrozy.
Tak heran jika Camat Sebatik Barat, Burhanuddin
mengatakan krisis BBM yang melanda sebagian besar wilayah Indonesia
tidak terlalu berdampak pada warga pulau yang berbatasan langsung dengan
Malaysia itu.
"Masyarakat di sini sudah terbiasa menggunakan BBM
dari Malaysia sehingga dampak krisis terkait rencana kenaikan harga BBM
tidak terlalu dirasakan," kata Burhanuddin.
Untuk mencapai Tawau di Malaysia, dari Sebatik hanya butuh waktu 15 menit dengan menggunakan speedboat.
Bupati
Kabupaten Malinau, Yansen mengakui, kesulitan BBM di wilayahnya yang
juga berbatasan langsung dengan Malaysia sudah berlangsung
bertahun-tahun.
"Dari dulu sudah sulit," katanya sembari
menyebutkan bahwa warganya sudah bertahun-tahun mengeluarkan Rp25 ribu
untuk setiap liter BBM.
Kendati dihadapkan pada masalah
keterbatasan BBM, warga di perbatasan tidak cengeng. Yansen juga tak
ingin hal ini dimasalahkan. "Yang paling penting, bagaimana
nasionalisme tetap terjaga," demikian Yansen.
Sumber : antaranews.com , Editor : Jafar M Sidik
Tidak ada komentar:
Posting Komentar